Masih dalam suasana bersilatturahim di hari raya, seorang pemuda desa
yang kebetulan menemui saya menanyakan bagaimana caranya agar kelak jika
dewasa menjadi pemimpin. Rupanya dari pembicaraan itu, yang tergambar
pada pikiran pemuda ini, bahwa kehidupan seorang pemimpin selalu
kelihatan enak. Pemimpin menurut gambarannya selalu dihormati, disegani,
dikenal banyak orang atau namanya masyhur, dicintai anak buah
----padahal ini sesungguhnya belum tentu, pekerjaannya tinggal
memerintah orang, jika berbicara didengarkan, dan penghasilannya juga
besar. Tentu masih banyak keuntungan hidup lainnya dari seorang
pemimpin.
Saya mencoba menjelaskan, bahwa pemimpin itu banyak
macamnya. Ada pemimpin olah raga, seperti misalnya pemimpin pemain sepak
bola, bola basket, folly ball, dan lain-lain. Juga ada pemimpin lembaga
pendidikan, seperti kyai pesantren, kepala sekolah, pemimpin perguruan
tinggi yang disebut dengan rektor. Ada juga pemimpin pemerintahan, atau
seringkali disebut pejabat, dari yang terbawah sampai yang tertinggi,
mulai kepala desa, atau lurah, camat, bupati, wali kota gubernur sampai
presiden. Selain itu ada pemimpin perusahaan, usaha apa saja, misalnya
tekstil, perusahaan rokok, perusahaan mobil, perusahaan, perbankan,
asuransi, transportasi. Contoh-contoh tersebut, tentu yang dikenal
bagus. Sebab selain itu juga ada pemimpin komunitas yang tidak bagus,
yang tentu tidak perlu ditambahkan di sini. Dan, tentu saja yang
dicita-citakan anak muda yang disebutkan di muka adalah pemimpin yang
bagus-bagus itu.
Kemudian saya menjelaskan bahwa seorang
pemimpin, agar kepemimpinannya sukses harus memiliki beberapa modal
sebagai bekalnya. Di antaranya, pertama, seorang pemimpin harus memiliki
jiwa kepemimpinan. Seseorang ingin menjadi pemimpin, tetapi jika ia
tidak memiliki jiwa kepemimpinan juga akan repot sendiri. Pemimpin itu
harus kaya ide, semangat tinggi untuk mewujudkan idenya itu, sabar,
ikhlas, suka berkorban dan tentu saja memiliki pengetahuan yang cukup
tentang seluk beluk komunitas yang dipimpinnya. Misalnya sebagai
pemimpin bank, ia harus tahu tentang perbankan. Pemimpin perusahaan
asuransi, ia juga harus memiliki pengetahuan tentang ke asuransian dan
seterusnya.
Kedua, seorang pemimpin adalah orang yang bisa
mencintai semua bawahannya. Ia harus bisa membagi cintanya,
setidak-tidaknya kepada semua orang yang dipimpinnya. Kalimat ini mudah
diucapkan dan seolah-olah bisa dimiliki oleh semua orang. Akan tetapi
dalam praktek kehidupan sehari-hari, ternyata tidak semua orang yang
dipimpin mudah diatur, mengikuti dan mau menjalankan tugas-tugas yang
seharusnya diselesaikan olehnya. Anak buah, sebagai manusia biasa, tidak
jarang lupa, salah, kurang semangat bekerja dan bahkan juga sesekali
membantah, mengkritik dan sampai berani melawan. Sebagai seorang
pemimpin harus mampu menghadapi perilaku bawahan apapun sikap-sikap,
karakter, watak yang dimilikinya. Mencinai orang yang mencitainya mudah,
tetapi tidak gampang bagi siapapun mencintai orang yang sulit diatur
dan bahkan memusuhinya.
Seorang pemimpin rasanya tepat jika
diumpamakan sebagai seorang pawang binatang buas dalam permainan circus .
Pawang mampu membikin permainan indah dari binatang buas. Padahal
binatang tersebut selalu memiliki keinginan menerkam, tetapi seorang
pawang justru bisa menaklukkan dan memanfaatkan kelebihan singa dan
binatang buas lainnya menjadi tontonan yang indah. Seorang pawang tidak
pernah segera membunuh binatang piaraannya, hanya karena
binatang-binatang itu membahayakan. Bahkan sebaliknya, pawang itu justru
menyenangi binatang-binatang buas itu. Dan jika berhasil melatih dan
memimpinnya, ia merasa berpretasi. Sebagai pawang singa, juga tidak
tertarik jika perannya diganti menjadi pawang kelinci, kucing atau
bahkan pawang itik atau bebek. Siapapun tidak pernah mau dan juga tidak
akan dihargai sebatas sebagai pawang binatang jinak ini.
Ketiga,
sebagai seorang pemimpin harus mengetahui siapa dan akan dibawa ke mana
komunitas yang dipimpinnya. Pemimpin tim olah raga, seperti sepak bola,
bola folly, basket dan seterusnya kiranya tidak sulit menentukan akan
dibawa ke mana timnya itu. Pemimpin olah raga selalu bercita-cita agar
suatu ketika meraih juara. Atas dasar pemahamannya terhadap kekuatan tim
yang dipimpinnya, ia akan memiliki target-target yang ingin diraih.
Misalnya suatu ketika ingkin meraih juara tingkat RT, kemudian juara
tingkat desa, selanjutnya secara berturut-turut juara kecamatan,
kabupaten, propinsi, juara nasional dan bahkan suatu ketika ingin
menjadi pemimpin tim olah raga tingkat dunia. Tingkatan apa yang ingin
diraih, seolah pemimpin juga bisa mengukur kemampuan dirinya dan juga
anggota tim pemainnya. Misalnya, belum pernah menjuarai tingkat desa,
lalu mendaftarkan diri mengikuti kejuaraan tingkat propinsi, maka akan
ditertawakan orang. Sedemikian mudah merumuskan visi dan misi pemimpin
olah raga. Dan tentu tidak sedemikkian mudah merumuskannya kepemimpinan
di bidang lain, misalnya pemimpin pemerintahan, pemimpin partai politik,
perusahaan termasuk juga pemimpin perguruan tinggi.
Pemimpin
perguruan tinggi misalnya, ternyata tidak semuanya mampu dan berhasil
merumuskan visi dan misi secara jelas. Banyak pemimpin perguruan tingi
ternyata gagal sebatas hanya merumuskan itu. Tidak sedikit orang
kemudian berkomentar terhadap seseorang pimpinan perguruan tinggi yang
sudah sekian lama memimpin, tetapi tidak mampu merubah institusinya.
Orang kemudian mengomentari atas kegagalannya itu dengan mengatakan
bahwa pemimpin tersebut tidak memiliki visi dan misi yang jelas.
Pemimpin perguruan tinggi tersebut tidak memiliki jiwa kepemimpinan. Ia
hanya sebatas mampu menampilkan diri sebagai pejabat, dan bukan sebagai
seorang pemimpin, dan seterusnya.
Sementara orang, kadangkala
membedakan antara pejabat dan pemimpin. Pejabat biasanya hanya menangani
jenis pekerjaan yang sepele, misalnya membuat program tahunan,
mengusulkan besarnya anggaran yang dibutuhkan ke atasan, membagi tugas,
menjalankan core bisness dan melaporkan hasilnya setiap tahun. Sedangkan
pemimpin tidak sebatas melakukan peran-peran itu. Di kepala pemikmpin
harus penuh dengan imajinasi, cita-cita, mimpi-mimpi dan gambaran ke
depan. Pekerjaan seperti itu ternyata tidak bisa dilakukan oleh semua
orang. Tidak sedikit orang yang miskin cita-cita, imajinasi, mimpi-mimpi
dan cita-cita. Belum lagi tiak sedikit pemimpin yang hanya memiliki
“aku” kecil. Pada hal pemimpin harus memiliki “aku” besar, yaitu “aku”
yang jauh melampaui dirinya.
Penyandang aku besar biasanya tidak
saja berpikir untuk diri dan keluarganya. Konsep ini sepele, tetapi
sesungguhnya memiliki makna yang mendalam. Pemilik aku kecil tidak akan
bisa menjangkau kebutuhan yang diinginkan oleh seluruh anak buahnya.
Sebaliknya ia hanya akan berpikir tentang kebutuhannya sendiri, atau
jika agak melebar kebutuhan keluarganya. Orang yang beraku kecil anak
buahnyha dijadikan sebagai alat untuk memuaskan dirinya. Orang lain yang
berposisi sebagai bawahannya diperlakukan sebagai anak buah, buruh
pembantu dan bahkan babunya. Anak buah bagi pemimpin yang ber aku kecil,
keberadaannya dipandang rendah. Karena itulah maka tidak perlu
mendapatkan perhatian yang cukup. Pemimpin seperti ini tidak mau
menyisihkan waktunya untguk memikirkan kesejahteraan mereka. Cara
memanggil saja, biasanya tgidak menggunakan sapaan yang hormat, cukup
menyebut namanya, tanpa memberi identitas kehormatan seperti Pak, Mas
dan seterusnya.
Beda dengan pemimpin yang menyandang aku kecil,
pemimpin ber “aku” besar, mereka tidak saja berpikir tentang dirinya,
melaikan seharĂ-hari berpikir untuk mengembangkan dan membesarkan anak
buahnya. Semua anak buah diberlakukan sebagai pihak-pihak yang
memerlukan perhatian dan harus dibesarkan dalam pengertian luas.
Pemimpin yang memiliki aku besar, ia sadar bahwa keberhasilannya
membesarkan kampus atau lembaga yang dipimp;innya, harus melewati jalan
strategis. Jalan strategis yang dimaksudkan itu adalah membesarkan anak
buahnya itu. Logika yang digunakan adalah, jika semua anak buahnya
menjadi besar ------gaji cukup, pengetahuanh luas, kesejahteraan
terjamin, masa depannya jelas dan seterusnya, maka ia akan bekerja keras
dan berkualitas, yang ujung-ujungnya kemudian adalah lembaga yang
dipimpinnya akan cepat menjadi besar. Inilah pemimpin yang memiliki
“aku” besar itu. Ia akan membesarkan seluruh orang yang dipimpinnya.
Jika
kepemimpinan adalah seperti ini, maka benar apa yang ditakan di muka
bahwa pemimpin memerlukan jiwa kepemimpinan. Selain itu dia harus
memiliki “aku” yang lebih besar. Pemimpin bukan seseorang yang hanya
akan mendapatkan keuntungan yang bersifat materi atas imbalan dari
posisinya sebagai seorang pemimpin. Pemimpin juga tidak boleh hanya
berangan-angan agar tatkala menjadi pemimpin agar memiliki gaji yang
jumlahnya paling besar, bisa banyak istirahat, makan bergizi, tidur
nyenyak, dan menyandang lambang-lambang kebesaran lainnya. Pemimpin agar
meraih kesuksesan dalam memimpin justru harus hidup prihatin dan banyak
tirakat. Ia harus sanggup mengurangi tidur, membatasi makanan,
membatasi istirahat dan lain-lain. Sebagai bentuk tirakat itu misalnya
mengurangi tidur, puasa senin kamis dan bahkan puasa dawud, menjauhi
hal-hal yang sifatnya hanya sebatas memerdekakan hawa nafsu. Pemimpin
sebenarnya, dengan ilustrasi seperti itu, hidupnya menjadi tidak lebih
leluasa dan nikmat dari yang dipimpinnya.
Penjelasan yang
panjang lebar saya berikan seperti itu, maka anak muda tadi rupanya baru
menjadi mengerti bahwa para pemimpin yang kemudian dihormati orang,
kata-katanya didengarkan, dicari dan dicintai banyak orang, ternyata
memang tidak mudah dijalani. Pemimpin tidak seperti kebanyakan orang
lainnya. Ada hal-hal yang orang lain menjalinya dianggap biasa, tetapi
tidak selayaknya hal itu dilakukan oleh seorang pemimpin. Pemimpin harus
mau berkorban, menanggung resiko, banyak ide, pandai berkomunikasi
membangun jaringan, pemimpin harus bersedia membagi-bagi cintanya kepada
siapapun, baik mereka yang disukai maupun kepada yang dibenci
sekalipun. Menolong orang yang dicintai adalah mudah, tetapi pemimpin
juga harus mau menolong orang yang sehari-hari mengritik, mencaci maki
dan bahkan membenci sekalipun. Inilah tugas dan tanggung jawab pemimpin
yang sesungguhnya. Allahu a’lam.
Oleh : Prof. Dr. H. Imam Suprayogo (Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)
»» BACA SELANJUTNYA...