TAPAL BATAS : PILIH INDONESIA ATAU MALAYSIA . . .

CERITA DARI TAPAL BATAS mengajak untuk berpetualangan ke tempat yang barangkali belum pernah terpikirkan dalam benak penonton untuk dikunjungi. Film dokumenter nominator Film Dokumenter Terbaik FFI 2011 ini mencoba menyisihkan sejenak kisah hiruk pikuk kota besar Indonesia lantas menyuguhkan problematika nyata yang ternyata masih ada di perbatasan Indonesia dan Malaysia.

Sosok yang beruntung kisahnya diangkat dalam film antara lain ibu Martini guru SD di desa Badat Baru, Kusnadi seorang mantri kesehatan, dan Ella wanita asal Singkawang korban trafficking. Ketiganya punya kisah yang bisa jadi perenungan untuk penonton (Warga Indonesia) tentang pemahaman akan nasionalisme.
CERITA DARI TAPAL BATAS mengajak penonton berjalan-jalan hingga batas negeri dan mendengar cerita dari sana. Ketiga sosok orang biasa ini (Bu Martini, Kusnadi, dan Ella) yang menjadi penutur ceritanya. Ada banyak cerita yang belum terungkap di masyarakat. Permasalahan sehari-sehari seperti ketersedian fasilitas pendidikan, kesehatan, serta perlindungan sosial bagi masyarakat dipaparkan kembali lewat cerita personal ketiga tokoh orang biasa ini.
Bagi ketiga tokoh di atas, menjadi orang Indonesia menjadi ujian berat. Mereka harus menjalani hidup yang berat di negeri sendiri sementara tak jauh ada negeri Malaysia menggoda dengan segala kemapanan yang ada. Kisah Bu Martini bisa menjadi contoh bagaimana perjuangannya untuk bisa lulus 'ujian'.
Ibu Martini mengabdi selama 8 tahun di dusun terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Martini menempuh perjalanan 8-12 jam mengarungi sungai untuk bisa sampai di tempat tugasnya. Setiap hari ia harus mengajar 6 kelas seorang diri karena tidak ada guru lain yang tahan untuk mengajar di sana. Rumah dinasnya pun jauh dari kata layak.
Belum cukup ujian tersebut, Martini dihadapkan pada kenyataan tak adil lainnya. Suatu ketika pemerintah memutuskan membangun perpustakaan di tempatnya bekerja. Alih-alih memperbaiki fasilitas guru dan gedung sekolah yang bobrok, pemerintah malah membuat perpustakaan.
Kisah pilu ini bukan untuk ditangisi karena ada semangat berkebangsaan yang lebih besar tersimpan di balik kisah-kisah tersebut. Secara tak langsung, film ini menegaskan bahwa nasionalisme bukan sekadar ucapan belaka. Ada kerja keras untuk bisa mewujudkannya dan bertahan di dalamnya. Tiga tokoh ini memberikan tindakan nyata untuk menjadi Indonesia. Seperti lagu Efek Rumah Kaca yang menjadi soundtracknya.

0 komentar:

Posting Komentar

Matur Tengkyu